Popular Posts
- SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL
- KOLONIALISASI BANGSA EROPA DI AMERIKA
- TEUKU UMAR, BERDARAH MINANG KAH? ATAU BERDARAH ACEH?
- Temu ramah dengan Teuku Raja Tani Angsa di gunong kong
- PERANAN CHE GUEVARA DALAM PERJUANGAN MELAWAN OTORITER KUBA
- sistematika filsafat
- KEKUATAN- KEKUATAN SEJARAH
- PERANAN WANITA JAMAN DAHULU DAN ERA GLOBALISASI
- TINJAUAN KRITIS QANUN MEUKUTA ALAM
- SEJARAH ADAT PERKAWINAN ORANG ACEH
Blogger templates
Blogger news
Mengenai Saya
Pengikut
Total Tayangan Halaman
KPESN. Diberdayakan oleh Blogger.
Senin, 28 Januari 2013
1.
Ide gerak sejarah yang maju ke depan sering
dikemukakan para filosof yang cenderung mengukuhkan perbuatan manusia dan
pencapaian-pencapaiannya dalam sejarah. Mengenai asal ide kemajuan ini bisa
diacu pada pendapat-pendapat Bacon (Sahakian, 1968: 124-140)
dan Descartes (Snyder, 1955: 25-28), dua panji kebangkitan
ilmiah di Barat. Pada akhir abad ke-19 ide ini semakin tersebar luas, yaitu
pada waktu terjadi polemik antara para pengikut sastrawan dan kritisi lama
dengan sastrawan dan kritisi baru. Untuk mempertahankan sikap mereka, para
pengikut sastrawan dan kritisi baru terpaksa menuduh para pengikut sastrawan
dan kritisi lama bahwa mereka telah terperosok dalam khayalan pengukuran yang
keliru. Yakni pada waktu mereka memandang orang-orang yang lebih dulu dari
mereka sebagai orang-orang yang lebih kuat pikirannya. Padahal manusia apabila
ia semakin dewasa kebijakannya pun semakin matang dan orisinal, demikian halnya
kemanusiaan yang bersama perjalanan zaman semakin mengarah kepada kemajuan.
Jadi, apabila manusia yang terdahulu mempunyai kelebihan dalam
keterdahuluannya, maka manusia yang berikutnya mempunyai kelebihan dalam
kesempurnaannya.
Teori kemajuan ini kemudian tersebar dan
mempengaruhi bidang-bidang kegiatan manusia lainnya seperti politik, sosial,
seni, filsafat, dan sejarah, sehingga pada abad ke-19 kata kemajuan
memiliki berbagai makna. Di antara makna kata itu ada yang berkaitan dengan
“ide perkembangan yang memandang watak manusia sebagai hasil tertinggi proses
perkembangan itu sendiri”, dan oleh karena itu kemajuan historis juga
terkandung dalam watak itu. Makna kata ini ada pula yang berkaitan dengan
“filsafat denominasional”, di mana konsepsi kemajuan mengambil corak teori yang
integral dalam filsafat sejarah, seperti halnya yang kita dapatkan pada
beberapa filosof abad ke-19 seperti Karl Marx, Frederick
Engels, dan lain-lain, atau dalam “filsafat sosial” yang
diwakili oleh Auguste Comte dan John Stuart Mill.
Kemudian pada abad ke-20, teori kemajuan meraih berbagai dukungan dari kalangan
kaum Marxis, pragmatis, dan para penganut aliran eksperimental.
Sejak awal kemunculannya, teori kemajuan erat
kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Seruan para penganut teori ini pada dasarnya
ditegakkan di atas kemajuan yang diraih kamanusiaan dalam sebagian ilmu
pengetahuan yang membuat tersingkapnya sebagian hal yang tidak diketahui
sebelumnya, dan di antara hasilnya adalah masa pencerahan dengan optimisme dan
rasa percaya terhadap masa depan yang erat berkaitan dengannya, keinginan
untuk mengendalikan alam, peremehan masa lalu dengan segala khurafatnya, dan
keinginan untuk menguasai pembuatan sejarah.
Teori kemajuan ini oleh para pendukungnya
dideskripsikan sebagai suatu proses akumulatif sepanjang masa. Oleh karena
itu, orang-orang zaman modern, dengan sarana dan ilmu pengetahuan yang
mereka miliki, lebih maju ketimbang orang-orang zaman dahulu di bidang ilmu
pengetahuan dan industri. Oleh karena itu, kekaguman tidak logis terhadap
orang-orang dahulu tidak mempunyai landasan, dan kekaguman itu menurut mereka
merupakan batu penghalang jalan kemajuan manusia. Dengan pandangan yang
demikian ini, kemajuan adalah filsafat optimistis yang memandang kesempurnaan
manusia sebagai hal yang tidak terbatas dan sejarah manusia bergerak maju di mana
pengetahuan manusia menjadi semakin berkembang dan sedikit demi sedikit semakin
mendekati tujuan akhir masyarakat manusia, yaitu terealisasinya kebebasan,
kesempurnaan, dan penguasaan sepenuhnya atas alam.
Auguste Comte
termasuk kaum progresif yang memakai teori organis dalam menginterpretasikan
watak masyarakat. Menurutnya, masyarakat adalah kelompok organis kolektif, dan
seperti halnya berbagai fenomena dalam alam, matematika dan biologi tunduk di
bawah hukum-hukum tertentu, masyarakat juga, tegak di atas suatu hukum umum.
Berdasarkan hukum itu sendiri, misalnya, kita bisa membagi berbagai fase yang
dilalui peradaban menjadi tiga fase, yaitu fase
teologis, fase metafisis, dan fase positif. Hukum ketiga fase itu
diikhtisarkan Comte dari sejarah ilmu pengetahuan dan terpengaruh oleh tiga
klasifikasi yang dikemukakan Vico, seperti akan diuraikan
nanti dalam kajian ini. Ide kemajuan diperbincangkan Comte
dalam kerangka dinamisme sosial yang dipandangnya sebagai teori umum kemajuan
manusia yang secara ringkas, di antaranya, dinyatakan bahwa pada akhirnya
manusia akan mampu mengendalikan alam. Dalam filsafat Comte kemajuan
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kemajuan intelektual, kemajuan
material, dan kemajuan moral. Filsafat Comte itu terpengaruh oleh ide
perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam, namun ia mempergunakan sejarah dalam
kajiannya tentang perkembangan intelek (pikiran) manusia dan fase-fase yang
dilaluinya.
Tampak bahwa para pemikir pada masa pencerahan
telah berupaya mencarikan landasan posisi manusia dalam alam fisik dan mereka
menganggap hukum-hukum sejarah adalah sama dengan hukum-hukum alam. Dari segi
lain mereka mempercayai kemajuan. Akan retapi landasan apakah yang bisa dipakai
untuk memandang bahwa alam adalah maju secara terus ke arah suatu tujuan?
Kesulitan ini dipecahkan Hegel dengan mengadakan pemilahan
yang ketat antara sejarah yang dipandangnya maju dan alam yang kehilangan corak
itu. Kemudian datang revolusi Darwinisme yang menyirnakan semua hal yang tidak
mengenakkan, yaitu dengan pandangannya bahwa perkembangan dan kemajuan
adalah sama: tampak jelas bahwa pada akhirnya alam adalah maju seperti sejarah.
Namun pendapat ini membuka pintu gerbang salah paham yang lebih berbahaya,
sebab ia memberi kesempatan terjadinya pencampuradukan antara warisan
biologis, yang membentuk sumber perkembangan, dan perolehan
sosial yang memben-tuk sumber kemajuan dalam sejarah”.
Demikianlah terbentuknya hubungan antara ide
perkembangan dan ide kemajuan dalam kalangan banyak peneliti, meski perkembangan
sendiri tidak lain adalah perombakan bio-fisiologis khusus bagi makhluk-makhluk
hidup sesuai dengan hukum seleksi alam, sementara kemajuan
adalah upaya yang sadar untuk memperoleh pola-pola baru dalam tingkah laku
individu dan masyarakat. Dari sini majunya kemanusiaan tampak merupakan hal
yang deterministis dan pasti. Malah, ia mudah direalisasikan apabila
masyarakat-masyarakat yang ada mampu mendayagunakan sebaik-baiknya
penemuan-penemuan ilmiah tentang prinsip-prinsip ekonomi dan hukum-hukum
perkembangan manusia, seperti halnya diungkapkan oleh kajian sejarah yang
ilmiah dan mendalam. Karena masyarakat manusia dan nilai-nilai moral yang luhur
maju sesuai dengan hukum-hukum ilmiahnya yang khusus, demikian halnya ilmu
pengetahuan kita akan semakin maju dengan semakin bertambahnya pengetahuan kita
tentang hukum-hukum alam. Sehingga kemanusiaan pun akan melangkah maju ke arah
masa depan cemerlang yang didasarkan pada penghormatan atas hak-hak individu
kemajuan ilmu pengetahuan, dan merea-lisasikan kebahagiaan pikiran, moral, dan
sosial tertinggi yang ditujunya.
Meski adanya harapan dan niat baik para pendukung
teori kemajuan dengan berbagai aliran filosofisnya, namun teori ini banyak
mendapat kritik. Sebagian ada yang berkenaan dengan metode penelitian yang dipakai
dan sebagian ada yang berkenaan dengan nilai-nilai yang mereka kemukakan.
Misalnya saja, seperti dikemukakan beberapa peneliti, kritik mereka yang keras
terhadap Zaman Pertengahan dengan norma-norma zaman modern. Demikian halnya
kritik keras mereka terhadap para agamawan telah melewati batas dengan
mengeritik agama itu sendiri, sebab dalam pandangan mereka agama bukan lagi
merupakan faktor penting dalam pembentuk kebudayaan. Kritik mereka terhadap
khurafat dan pikiran magis telah menyentuh pula ide agama. Yakni sewaktu mereka
memaksakan ide pembebasan diri dari kekuasaan gereja, mereka pun mencukupkan
ide kemajuan ini dengan manifestasi luarnya saja yang bertentangan dengan
agama, tanpa berupaya menda-lami konteks peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi
guna menyingkapkan perjalanan internalnya.
Dari segi lain, teori kemajuan mendapat kritik
dari para penganut relativisme historis yang meman-dang teori
kemajuan hanya sebagai salah satu pola organisasi sosial yang berupaya
menganalisis realitas dan mengorganisasikannya berdasarkan percobaan-percoba-an
masa lalu guna terjadinya perubahan yang lebih besar dan demi kebaikan sebanyak
mungkin anggota-anggota masyarakat. Jadi, kemajuan dalam pengertian yang
demi-kian ini merupakan suatu nilai moral yang lebih banyak mengandung suatu
sifat pengarahan dan perasaan tanggung jawab bersama daripada merupakan suatu
filsafat realistis tentang realitas sejarah dalam pengertiannya yang dikenal.
Sumber: al-Sharqawi, ‘Effat.
1406 H/1986 M. Filsafat Kebudayaan Islam (terjemahan
Ahmad Rofi’ Usmani dari Falsafah al-Hadharah al-Islamiyyah). Bandung: Pustaka.
Label:
FILSAFAT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar