Popular Posts
- SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL
- KOLONIALISASI BANGSA EROPA DI AMERIKA
- TEUKU UMAR, BERDARAH MINANG KAH? ATAU BERDARAH ACEH?
- Temu ramah dengan Teuku Raja Tani Angsa di gunong kong
- PERANAN CHE GUEVARA DALAM PERJUANGAN MELAWAN OTORITER KUBA
- sistematika filsafat
- KEKUATAN- KEKUATAN SEJARAH
- PERANAN WANITA JAMAN DAHULU DAN ERA GLOBALISASI
- TINJAUAN KRITIS QANUN MEUKUTA ALAM
- SEJARAH ADAT PERKAWINAN ORANG ACEH
Blogger templates
Blogger news
Mengenai Saya
Pengikut
Total Tayangan Halaman
KPESN. Diberdayakan oleh Blogger.
Rabu, 05 Juni 2013
Ureung (orang) Aceh memiliki budaya tersendiri dalam bertingkah laku, bersikap, beradat, berbudaya, dan sebagainya. Ureueng Aceh umumnya berkarakter keras, tidak mau begitu saja didikte, tidak cepat menyerah hampir dalam semua kesempatan dan teguh dalam menghadapi masalah (Kurdi, 2001: 29; Zainuddin, 2007: 124). Sedangkan menurut pandangan Abdullah (2007: 2-3) lebih mempertegas lagi bahwa adat tata kelakuan masyarakat Aceh identik dengan nilai-nilai budaya Islam.
Hal ini ditandai dengan empat ikon nilai-nilai budaya Islami yang
menandakan keberadaan ureueng Aceh. Pertama, Aceh dikenal sebagai tempat
di mana agama dan adat menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial:
“Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala”.
Sisi kehidupan sosial budaya Aceh yang dibangun atas dasar agama dan
adat membentuk suatu sumber penataan sosial (Sufi dan Wibowo, 2004:
88).
Kedua, ureueng Aceh dikenal sebagai pemberani yang mendapatkan
pembenaran historis pada perang melawan Portugis selama 120 tahun dan
perang Aceh melawan Belanda hampir 70 tahun sejak maklumat perang
disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Kedua perang memperlihatkan
keteguhan hati orang Aceh dalam mempertahankan wilayah dan sesuatu yang
diyakini benar, khususnya jika itu menyangkut kebenaran agama.
Ketiga, ureueng Aceh juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang
tinggi yang disebabkan oleh adanya kebanggaan sebagai ureueng Aceh.
Kebanggaan ini tentu saja bersumber dari sejarah dan hikayat yang terus
menerus dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Keempat, ureueng Aceh
menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif. Hal ini antara lain tampak dari
kebiasaan ureueng Aceh untuk berkumpul di warung kopi, saling
mengunjungi, kenduri, serta ucapara-upacara yang melibatkan banyak orang
(Wibowo, 2004).
Pada bagian lain Sufi (1997: 4) mengatakan bahwa salah satu
karakteristik budaya masyarakat Aceh adalah suka melakukan “tueng bila”,
maksudnya menuntut bela. Stereotif tersebut, benar atau salah, sering
memberikan kesan yang menakutkan bagi pihak luar. Stereotif ini menjadi
negatif apabila tidak dimaknai dengan benar. Ada pendapat bahwa menuntut
bela ini dapat dimaknai sebagai dendam dalam arti negatif sehingga
masyarakat Aceh dianggap sebagai masyarakat yang pendendam.
Oleh karena itu, pemaknaan sebuah karakter komunitas harus dilihat dari
sudut pandang pemilik karakter tersebut. Dengan demikian, tidak akan
menimbulkan sikap etnosentrisme yang sempit. Apalabila dirunut
sejarahnya, “tueng bila” telah dilakukan oleh ureueng Aceh sejak zaman
kolonialis Belanda, bahkan mungkin terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Arti “Tueng Bila”
“Tueng bila” merupakan bagian dari protipe watak orang Aceh, yang tampak
pada pikiran, perilaku, tindakan, sikap, dan tutur kata. Berdasarkan
hasil kajian yang dilakukan oleh Harun (2008: 16) terhadap hadih maja
yang mengandung nilai filosofis, tampak bahwa orang Aceh memiliki
prototipe watak yang (1) reaktif, (2) militan, (3) optimis, (4)
konsisten, dan (5) loyal. Ciri-ciri tersebut mewarnai pola pikir dan
pola tindak mereka dalam kehidupan, salah satunya terkait dengan
perilaku “tueng bila” yang dilakukan oleh ureueng Aceh.
Menurut Syamsuddin (2000) bahwa “tueng bila” itu sifat dari orang Aceh untuk balas dendam terhadap sesuatu yang mana balas dendam tersebut dapat dilakukan kapanpun juga tergantung kesempatan. Oleh karena itu, istilah “tueng bila” merupakan suatu kata yang tidak asing lagi bagi kalangan ureung Aceh. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam adat dan kebiasaan ureueng Aceh perkataan “tueng bila” sudah sangat terikat dengan kepribadiannya (Sufi, 2003; Adan, 2006: 86).
Menurut Aboebakar dkk (2001: 1004) dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, Teung bila berasal dari dua suku kata, yaitu tueng dan bila yang artinya mengambil atau menuntut bela. Akan tetapi, dalam buku Kamus Aceh-Bahasa Indonesia (Aboebakar dkk, 2001: 83) terdapat juga kata bila yang merupakan kata benda dari bela yang artinya pembalasan, menuntut ajal lawan atau keluarganya sedangkan kata Tueng dapat diartikan sebagai menerima (Daud dan Durie, 2002: 42), atau dapat juga diartikan menjemput, Dengan demikian, “tueng bila” dapat diartikan menjemput atau menuntut balas/ajal terhadap lawan atau keluarganya.
Menurut Syamsuddin (2000) bahwa “tueng bila” itu sifat dari orang Aceh untuk balas dendam terhadap sesuatu yang mana balas dendam tersebut dapat dilakukan kapanpun juga tergantung kesempatan. Oleh karena itu, istilah “tueng bila” merupakan suatu kata yang tidak asing lagi bagi kalangan ureung Aceh. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam adat dan kebiasaan ureueng Aceh perkataan “tueng bila” sudah sangat terikat dengan kepribadiannya (Sufi, 2003; Adan, 2006: 86).
Menurut Aboebakar dkk (2001: 1004) dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, Teung bila berasal dari dua suku kata, yaitu tueng dan bila yang artinya mengambil atau menuntut bela. Akan tetapi, dalam buku Kamus Aceh-Bahasa Indonesia (Aboebakar dkk, 2001: 83) terdapat juga kata bila yang merupakan kata benda dari bela yang artinya pembalasan, menuntut ajal lawan atau keluarganya sedangkan kata Tueng dapat diartikan sebagai menerima (Daud dan Durie, 2002: 42), atau dapat juga diartikan menjemput, Dengan demikian, “tueng bila” dapat diartikan menjemput atau menuntut balas/ajal terhadap lawan atau keluarganya.
Sufi (2003: 14) mengartikan “tueng bila” sebagai menuntut bela.
Tentunya, seorang Aceh akan menuntut atas kerugian yang dideritanya.
Menuntut bela ini hendaknya diartikan dalam kerangka yang positif karena
memang dalam bahasa Aceh terdapat pula perkataan menuntut balas
(dendam) yang disebut dam dan menyimpan dendam (tr?h dam). Akan tetapi,
penggunaannya sangat negatif.
Adan (2006: 85) menyatakan bahwa "tueng bila” yang dalam bahasa Melayu
bermakna sebagai balas dendam merupakan sebuah fenomena lama yang dapat
dikonotasikan juga sedikit negatif dalam arti sebuah pembalasan dendam.
Selanjutnya, apabila kita telusuri lebih jauh makna serta hakikat
daripada kata “tueng “bila, ia tidak terlepas dari sebuah manifestasi
imaginasi konkrit dari seseorang yang merasa dikhianati untuk meluruskan
persoalan yang sebenarnya.
Ajaran agama Islam sebenarnya juga mengenal menuntut balas atau membela
kehormatan. Akan tetapi, menuntut balas yang dilakukan adalah atas
kerugian yang diderita. Pada masa Nabi Muhammad SAW
penyerangan-penyerangan tentara Islam terhadap orang kafir dilakukan
setelah lebih dahulu diberikan peringatan serta ajakan untuk memilih
agama yang benar. Selain itu, keputusan untuk melaksanakan hukum hudud
dan qishas, merajam melalui persetujuan Nabi Muhammad SAW.
Menuntut balas bukan dilakukan berdasarkan pada subjektifitas seseorang
dan merupakan wajib bagi umat Islam. Dasar dari menuntut balas ini
terdapat pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178, yang Artinya ;
Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas2 berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (pampasan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rakhmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia mendapat azab yang sangat pedih.
Selain itu juga pada surat Al Maidah ayat 45 disebutkan upaya menuntut balas diwajibkan bagi umat Islam, yang artinya,
Kami telah menetapkan bagi mereka didalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus bagi dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.
Oleh karena itu, menurut Ismail (2006:3), asas “tueng bila” yang
dilakukan oleh ureueng Aceh harus memenuhi kriteria tertentu, tidak asal
melakukannya begitu saja. Selanjutnya Ismail menyatakan sebagai
berikut, “Dalam kehidupan keluarga Aceh, tidak ada ”dendam”,
karena amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei
zat ngon sifeut). ”Tueng bila” dilakukan karena terpaksa demi untuk
”membela diri/bila droe” menegakkan kehormatan, agama, martabat
keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan
oleh perbuatan orang lain”.
Sebagai Harkat dan Martabat
Dipermalukan secara terbuka atau di muka umum berupa provokasi tertentu
pada hal-hal khusus sampai batas derajat tertentu pasti membuat luka
yang dalam dan mengganggu keseimbangan emosi. Hal yang disebutkan itu
dapat menjadi awal dari perilaku “tueng bila” bagi ureueng Aceh. Lebih
lanjut ureueng Aceh akan merasa terhina akibat perlakuan buruk yang
dirasakan dan menjatuhkan martabat kemanusiaannya.
Malu (bahasa Aceh: malee) bagi ureueng Aceh adalah sesuatu yang harus
ditutupi, harus “ditelan” dan tidak boleh orang tahu. Tidak ada air
talang dipancung, tak ada emas bungkal diasah adalah alasan untuk
melakukan apa saja, apabila suatu keadaan menjadi darurat (noodzaak),
yaitu untuk menutupi malu. Kehilangan harga diri bagi orang Aceh adalah
kehilangan segala-galanya karena tidak hanya membuat diri sendiri,
tetapi juga malu kawom. Menurut Sufi (2000) mengatakan bahwa,
“Yang namanya orang Aceh, hubungan kaum atau kekerabatannya sangat
tinggi. Kalau salah satu anggota kaum tersebut terkena sesuatu, maka
keluarga dari anggota kaum itu akan menuntut. Mereka akan “tueng bila”.
Membuat tingkah laku yang memalukan tidak hanya merusak diri pribadinya,
tetapi juga memalukan dan merusak kawomnya secara keseluruhan,
keluarga, dan kampungnya (saboh keubeue meukubang, ban saboh weue
meuleuhob) (Satu kerbau berkubang, seisi kandang berlumpur). Dalam hal
ini juga Islam juga memerintahkan untuk menjaga martabat, harga diri,
dan malu (Aswar, 2007: 25-27). Selain itu juga rasa malu merupakan
refleksi daripada kata hati yang dapat berupa perasaan salah,
penyesalan, kesadaran atau kewajiban, tanggung jawab, dan ketaatan agama
(Alisyahbana, tt: 56-57; Hasyim dkk, 1997: 30).
Untuk itu, provokasi yang membuat malu harus dihindari atau pantang
(tabu). Bahkan untuk sekedar mencoba-coba atau bergurau sekalipun.
Menurut Dally (2006: 1) ada lima perilaku yang tidak boleh dilakukan
agar tidak mendorong “tueng bila” bagi ureueng Aceh. Pertama, menyangkut
penghinaan terhadap agama Allah, Tuhan, Rasul-rasul Allah, pelecehan
terhadap Nabi Muhammad SAW, para Rasul Anbiya, Kitab Suci Al Qur’an, dan
segala simbol yang dianggap suci dalam agama Allah.
Kedua, mempermalukan kedua orang tua di depan umum lebih-lebih jika
anak-anaknya (laki-laki) hadir di sana. Lembaga orang tua sangat
dimuliakan, sangat terhormat di mata anak-anaknya dan keturunannya.
Ketiga, mempecundangi, menggoda atau berselingkuh dengan istrinya. Istri
merupakan lambang kesucian dan kehormatan diri, keluarga, dan
keturunannya kelak. Bagi lelaki Aceh hal ini tidak ada toleransi
sedikitpun.
Keempat, mengganggu anak gadisnya yang mana sama kedudukannya dengan
istrinya sebagai lambang kesucian keturunannya. Apabila berminat
lamarlah dengan baik dan terhormat. Kelima, tanah (lahan) dan air sawah
saat segera akan bertanam padi. Membuat provokasi berupa menggeser
sempadan atau garis batas lahan walau sejengkal sekalipun. Mengeringkan
air sawahnya pada saat bertanam mutlak suatu penghinaan yang sangat
serius. Ungkapan ini sering dikembangkan sebagai membela “tanah air”.
Kelima hal tersebut di atas terangkum dalam narit maja di bawah ini,
Méë ta maté bak limong pat maleë
Keu sa bak agama Allah ji peuhina
Dua ma ngon ku teuh ji peumaléë
Lhee aneuk dara teuh ji peukaru
Peuet inong peurumoh ka gop cuca
Limong ceue ji peuiseuk ie ji peutho jan seumula
Artinya:
Patut di (bela sampai) mati pada lima macam perlakuan melalukan
Yang pertama jika Agama Allah (Islam) diperhinakan
yang Dua ibu dan ayah dipermalukan
yang Tiga istri diselingkuhi orang lain
ke Empat anak gadis dilecehkan orang
ke Lima pematang digeserkan, dikeringkan air sawah saat padi akan ditanam
Setiap perilaku terhadap seseorang yang menyangkut lima hal tersebut
dapat menjadi sebuah penghinaan. Setiap penghinaan akan dirasakan
sebagai kehilangan martabat atau harga diri, tidak dihargai, dianggap
sepi sehingga secara total merasa diri tidak berharga. Akibatnya, orang
akan berusaha membela kehormatan diri dengan berbagai cara dan
bentuknya, baik bertindak positif maupun negatif, untuk membuat
perhitungan agar diri kembali berharga, termasuk menyambung nyawa,
memamerkan kemampuannya dalam membinasakan hidup orang lain dengan
nyawanya sendiri sebagai taruhan.
Nibak putéh mata get putéh tulueng (daripada putih mata lebih baik lebih baik putih tulang) merupakan
ungkapan yang mendukung pertaruhan terhadap harga diri ureueng Aceh.
Jadi kebanggaan bagi laki-laki Aceh adalah jadi orang akan memilih mati
(sebagai satria) daripada hidup terhina.
Untuk itu, konsep “tueng bila” ini merupakan salah satu prinsip hidup
yang masih sulit ditinggalkan sebagian besar ureueng Aceh, karena
berkaitan dengan harkat dan martabat dirinya sebagai makhluk pribadi dan
makhluk sosial. Karena itu, jika suatu pembunuhan tidak diselesaikan
dengan perdamaian, terutama perdamaian menurut adat, hampir dipastikan
bakal ada pembunuhan balasan dengan cara yang sama atau lebih jahat
lagi. Dalam konteks ini lebih jauh berkaitan dengan perbenturan fisik
atau dalam konsep “tueng bila” ‘menuntut balas’, tidak lagi pada tataran
hinaan dengan kata-kata atau perilaku. []
Baca juga : Aceh Pungo, dan Pembunuhan Khas Aceh
Baca juga : Aceh Pungo, dan Pembunuhan Khas Aceh
***
oleh Agus Budi Wibowo,
Penulis adalah salah seorang peneliti di
Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh
Label:
SEJARAH ACEH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar