RIZKI RASNAWI

Facebook

Blogger templates

Blogger news

Blog Archive

Pengikut

Total Tayangan Halaman

KPESN. Diberdayakan oleh Blogger.
Jumat, 01 Maret 2013


Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Azyumardi Azra
‘’If, at the beginning of the twentieth-first cen tury, we can assume that history is constituted as a complex series of narratives-representations- of the past, then we have the foundations upon which we can build our visions of its future.’’ (Jenkins, Morgan & Munslow, 2007:1).

Apa makna sejarah masa silam bagi zaman kini dan masa depan? Pembicaaan tentang hal ini kembali mencuat sebagai tema utama Konferensi ke-22 Asosiasi Internasional Sejarawan Asia (IAHA) yang berlangsung di Solo pada awal Juli 2012 lalu. Konferensi IAHA kali ini diikuti sekitar 350 pemakalah dan 70 pengamat yang datang dari 26 negara. Ini adalah kali ketiga Indonesia menjadi penyelenggara, sebelumnya pada 1974 di Yogyakarta dan 1998 di Jakarta.

Tema ‘’Remembering the Past, Experiencing the Present, and Exploring the Future’’ (Mengenang Masa Silam, Mengalami Masa Kini, dan Mengeksplorasi Masa Depan) bagi saya, yang dipercaya menjadi presiden IAHA merupakan kesempatan sangat baik untuk kembali berefleksi tentang perjalanan sejarah anak manusia, khususnya menyangkut sebagian masa silam Indonesia. Tema besar tadi mengisyaratkan bahwa sejarah tidak hanya berkenaan dengan masa silam, apalagi hanya masa silam yang sangat jauh (remote history). Sebaliknya, sejarah berlanjut ke masa kini yang biasa disebut sebagai sejarah kontemporer, dan bahkan sejarah hari ini (present day history).

Jelas, banyak peristiwa masa lalu meninggalkan berbagai dampak dan bekas yang tidak bisa terhapuskan. Bahkan, banyak hal yang terjadi di masa silam sangat memengaruhi perjalanan sejarah hari ini. Karena itu, sejarah masa lalu adalah fondasi bagi sejarah hari ini, yang dialami secara aktual oleh anak manusia masa kini yang pada gilirannya membentuk masa depan.

Pertanyaan yang sering muncul ke dalam wacana kalangan publik adalah ketika berbagai peristiwa yang terjadi di masa kini terlihat seolah terulangi kembali.

Dalam ungkapan kalangan sejarawan Prancis, ‘sejarah mengulangi dirinya sendiri’ (histoire serepete). Padahal, sebenarnya tidak berulang. Kejadian yang pernah terjadi di masa silam itu tidak menyenangkan dan meninggalkan banyak kepahitan tidak pernah terulang dalam bentuk yang persis sama.

Karena itu, ‘pengulangan’ lebih merupakan ibarat, dimana mereka yang terlibat dalam proses sejarah hari ini seolah tidak mau belajar dari pengalaman masa silam yang tidak menyenangkan dan bahkan gelap. Banyak orang kembali dan kembali terjatuh ke dalam lubang yang sama. Karena itu, mengingat masa lalu bukan hanya dapat memunculkan romantisme sejarah yang bukan tidak mungkin sangat bernyalanyala, tetapi sekaligus kepahitan.

Dan, kepahitan itu bahkan bisa menimbulkan kemarahan dan bahkan dendam sejarah yang tidak mudah dimaafkan.Dengan demikian, dalam mengalami sejarah masa kini terdapat kalangan warga yang tidak mudah berdamai dengan bagian tertentu dari sejarah masa lalu yang tidak menyenangkan itu. Berdamai dengan masa lalu sepatutnya memang harus diawali dengan pencarian dan pengungkapan kebenaran tentang apa sesungguhnya yang terjadi, bagaimana proses terjadinya, dan siapa saja yang bertanggung jawab atas kejadian pahit itu.

Jika kebenaran bisa diungkapkan, mereka yang bertanggung jawab harus mendapat hukuman setimpal, dan sebaliknya mereka yang menjadi korban mendapat kompensasi dan restitusi. Tetapi, jelas proses terkait dengan upaya pengungkapan kebenaran tidaklah mudah.

Walaupun demikian, hal-hal pahit dalam sejarah hanyalah sebagian dari cerita. Sebagian lain, yang bahkan merepresentasikan porsi yang jauh lebih besar dalam sejarah masa silam dan sejarah masa kini, membukakan banyak peluang bagi sejarah masa depan lebih baik.

Di sini, sejarah menjadi emansipatoris, yakni membebaskan dan sekaligus menjanjikan. Karena itu, sejarah masa kini harus direbut setiap mereka yang ingin Indonesia lebih baik dan menduduki tempat sepatutnya dalam sejarah peradaban manusia secara keseluruhan.
Redaktur : M Irwan Ariefyanto
Sumber : resonansi

0 komentar: